banner 970x250

Legislator ini Menyebut Permenaker 2/2022 Melabrak Logika Umum

Kota Bandung, Brilianews.com – Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD provinsi Jawa Barat Asep Wahyuwijaya menyatakan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) no 2 tahun 2022 tentang tatacara dan persyaratan pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) melabrak logika umum.

Pasalnya, JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Padahal, dalam aturan sebelumnya JHT bisa dicairkan pada awal tahun ke 11.

“Ada logika yang saya kira menabrak atau berlawanan dengan arus besar pendapat umum, ” ujar Asep Wahyuwijaya pada forum diskusi yang digelar Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) secara virtual, Jum’at (25/2/2022).

Diskusi mengangkat tema ” Menakar Urgensi Penerbitan Permenaker nomor 2 tahun 2022, JHT & JKP Masalah atau Solusi.

Asep Wahyuwijaya menguraikan dalam aturan sebelumnya, bila pekerja sudah mengikuti program JHT selama 10 tahun, maka pada tahun ke 11 awal, itu (JHT) sudah bisa dicairkan.

Namun berdasarkan Permenaker no 2 tahun 2022, baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Pengecualiannya, kalau meninggal atau cacat tetap, bisa dicairkan 1 bulan berikutnya.

Menurut Asep hal itu bertentangan dengan anjuran pemerintah untuk menabung.

“Logika itu kan bermasalah. Bagaimana mungkin, kita yang dituntut menabung, tapi ketika akan menarik ditahan. Itu kan menabrak logika umum, ” ujarnya.

Terkait program JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) dikatakan Asep, pihaknya menerima banyak keluhan dari pekerja karena susah diakses. Ada syarat yang harus
dipenuhi untuk bisa mengakses JKP, yakni harus ikut jaminan kesehatan nasional, jaminan keselamatan kerja dan jaminan kematian.

Baca Juga  Bendungan Sadawarna Harus Tingkatkan Produksi Beras Indramayu

Sementara berdasarkan data dari Jamsostek, per Desember 2021 baru 10,9 juta pekerja yang sudah mengikuti program JKP dari total 30,6 juta pekerja.

“Jadi secara substansi banyak sekali masalah, yang secara logika awam susah untuk diterima sebagai sebuah keputusan yang menyejahterakan pekerja, ” tegas Asep.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Senior IPRC Feri Kurniawan mengungkapkan ada tiga skenario alasan dikeluarkannya Permenaker no 2 tahun 2022.

Pertama, BPJS Ketenagakerjaan dalam posisi kekurangan dana, sehingga keluarlah Permenaker ini yang mengharuskan atau menetapkan pada usia 56 tahun para pekerja baru dapat dana jaminan hari tua.

Dengan penetapan usia tersebut, akan tersedia cukup dana yang terakumulasi di BPJS Ketenagakerjaan.

Skenario kedua, Permenaker ini upaya pemerintah mengakomodir dana untuk mengantisipasi terjadinya defisit fiscal atau APBN di masa mendatang.

“Skenario ketiga adalah, Permenaker 2/2022 ini adalah salah satu bentuk sinkronisasi dari regulasi jaminan sosial,” ujarnya.

Menurut Feri, dari ketiga skenario tersebut, skenario ketigalah yang paling reasonable sebagai dasar penerbitan Permenaker 2/2022. Walau begitu momen dikeluarkannya Permenaker ini kurang tepat.

“Pemerintah kurang sensitif terhadap persoalan tenaga kerja di Indonesia saat ini. Ribuan tenaga kerja terkena PHK dan sangat berharap dana JHT dapat digunakan ditengah kesulitan ekonomi saat ini,” ujar Feri.

Baca Juga  Pemerintah Akan Terus Kejar Aset Obligor BLBI

Feri juga menambahkan, alih-alih menambah stimulus ekonomi, pemerintah justru menahan atau menunda hak tenaga kerja untuk mendapatkan dana JHT, sampai pekerja tersebut berusia 56 tahun.

“Dalam situasi seperti ini pemerintah seharusnya memberi kemudahan bagi para pekerja untuk mencairkan JHT,” ujar Feri.

Polemik JHT yang berkembang saat ini, menurut Direktur Riset Leo Agustino menunjukkan komunikasi publik yang tidak lancar, baik komunikasi pemerintah dengan DPR, pemerintah dengan stakeholder, dan juga pemerintah dengan instansi-instansi pemerintah sendiri.

Ini juga menunjukkan masalah harmonisasi, karena banyak regulasi peraturan perundang-undangan. Ada UU SJSN, PP, Permenaker kemudian ada regulasi-regulasi lain, ini saling bertubrukan satu sama lain.

Kemudian harmonisasi regulasi yang masih dalam tahap awal, sehingga banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dalam sekali pukul.

“Maka dari itu polemik-polemik ini perlu disudahi paling tidak dengan komunikasi, koordinasi, dan harmonisasi yang lebih optimal,” pungkasnya. (Adi)