banner 970x250

Perlambatan Ekonomi Global Akan Jadi Tantangan Perdagangan Luar Negeri Indonesia di 2024

Kota Bandung, BriliaNews.com – Melambatnya pertumbuhan ekonomi global, akan menjadi tantangan bagi perdagangan luar negeri Indonesia di 2024.

Berdasarkan prediksi IMF yang di rilis Oktober lalu, tahun 2022 pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh 3,5 %, sedangkan tahun ini diprediksi akan melandai di 3%. Di tahun 2024, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi akan turun lagi menjadi 2,9%.

Hal itu diungkapkan Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional selaku Plh. Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Didi Sumedi, pada Gambir Trade Talk #12 di Kota Bandung, Kamis (23/11/2023).

“Indonesia sendiri, kalau kita kategorikan sebagai emerging market, atau developing economy, tahun 2022 tumbuh 4,1% sedang tahun 2023 ini pertumbuhan ekonominya menurun jadi 4%,” ungkapnya.

Ia menandaskan di negara maju, pertumbuhan ekonominya justru lebih kecil lagi. Tahun 2023 hanya tumbuh 1,5% dibanding tahun lalu yang tumbuh 2,6%, dan tahun depan diprediksi akan turun lagi di angka 1,4%.

“Ini akan berpengaruh pada perdagangan global. Dengan berbagai dinamikanya, ini akan menjadi tantangan, dimana pertumbuhan ekonomi akan linear dengan demand perdagangan dunia,” jelas Didi.

“Kalau ekonomi turun, demand dunianya pun akan turun. Ini tentu akan mempengaruhi perdagangan kita khususnya pada sektor ekspor,” tambah Didi.

Didi mengatakan, performa ekspor Januari hingga Oktober, cukup baik.

Diakuinya ada penurunan dari sisi nilai, karena memang tren harga-harga dunia ini sedang menurun, khususnya di harga komoditas, yang masih menjadi tumpuan ekspor Indonesia selama ini.

Namun bila di lihat dari volume, justru masih meningkat di angka 7,3%, bila dibandingkan dari Januari-Oktober tahun lalu.

Oleh karena itu, menurut Didi, kebijakan pemerintah untuk melakukan hilirisasi, dari komoditas menjadi intermediate goods, sampai produk akhir, adalah sebuah kebijakan yang sangat tepat.

Baca Juga  Pengusaha di Jawa Barat Tetap Optimistis Hadapi Tahun Politik 2024

“Ini akan meningkatkan nilai tambah produk itu sendiri. Karena kalau kita lihat harga-harga di intermediate goods hinga produk akhir, tidak ada perubahan yang signifikan, dibanding harga-harga komoditas,”

Sementara itu Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, Indonesia perlu melakukan antisipasi atas kurang kondusifnya kondisi global

“Dua mitra kita yang paling besar yakni Tiongkok dan Amerika Serikat, diprediksi tahun depan tingkat konsumsinya tidak sebesar tahun ini,” ungkapnya.

Ekspor Indonesia ke Tiongkok masih banyak bergantung pada ekspor komoditas. Sama dengan ketergantungan ekspor ke Amerika berupa produk tekstil.

“Itu sebabnya bila kedua negara tersebut melemah, harga komoditasnya pun akan relatif menurun,” jelasnya.

Untuk itu kata Mohammad Faisal, diperlukan diversifikasi. Misalnya untuk produk tekstil, bukan hanya ke Uni Eropa, tapi juga ke negara-negara yang sudah tumbuh lebih besar, emerging super power, seperti India, negara-negara di Timur Tengah, dan juga di Afrika.

“Ekspor kita ke 13 negara tujuan utama itu masih sama 73%. Dalam 5 tahun terakhir itu stagnan. Itu artinya kita perlu kerja lebih keras supaya lebih diversifikasi,” tuturnya.

Terkait pengaruh geopolitik global, yaitu perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, Faisal mengatakan, keduanya tidak perlu ditakuti, walaupun tetap harus waspada.

Menurut Faisal, Geopolitk Rusia-Ukraina, itu sekarang relatif sudah lebih bisa diprediksi, dan makin lama makin rendah resikonya. Dampaknya terhadap inflasi juga diprediksi tidak terlalu tinggi lagi di Amerika.

“Sudah jauh berbeda dibandingkan tahun 2022. Ada mungkin gejolak-gejolak kecil yang bisa menaikkan harga energi,” tuturnya.

Baca Juga  Positif COVID-19, Pak Uu Jalani Isolasi Mandiri di Rumah Dinas

Sedangkan perang Israel – Palestina, tambahnya, kondisinya berbeda dengan konflik Rusia Ukraina. Mereka bukan produsen terbesar energi maupun pangan, seperti Rusia untuk gandum. Jadi impact secara langsung, terhadap perdagangan dunia itu rendah.

Menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah impact tidak langsungnya, terutama kalau perangnya panjang dan meluas hingga ke negara-negara yang punya peran ke energi lebih besar, seperti Iran, walaupun kondisi saat ini kemungkinannya kecil.

“Bila itu terjadi, dampak ke harga minyaknya bisa naik kembali. Harga perbarel bisa naik di atas 100 dollar per barel, yang artinya harga BBM dalam negeri yang disubsidi berpotensi akan naik lagi,” jelasnya.

Gambir Trade Talk merupakan acara rutin dari Badan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan.

Kepala Pusat Kebijakan Ekspor Impor dan Pengamanan Perdagangan sekaligus Plt. Sekretaris Badan Kebijakan Perdagangan Iskandar Panjaitan mengatakan,
GTT 12 ini merupakan yang ke empat dan terakhir di 2023, dengan tema Outlook Perdagangan Internasional Tahun 2024.

“Hasil diskusi ini menjadi masukan bagi Kementerian Perdagangan, untuk menentukan kebijakan kedepan terutama untuk tahun 2024,” ujarnya.

Hadir dan memberikan sambutan pada kegiatan tersebut, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat Noneng Komara Nengsih.

Pewarta : Adi
Editor       : Afrida