banner 970x250

Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan

Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan
Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan

Bandung, Brilianews.com – Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyelenggarakan pidato kehormatan bagi guru besar yang memasuki purnabhakti.

Kegiatan dalam rangkaian Dies Natalis ke 67 UPI yang dibuka oleh Rektor UPI Prof. Dr. M.Solehuddin, diselenggarakan secara daring melalui aplikasi zoom dan luring di gedung Achmad Sanusi, Selasa (19/10/2021).

Ketiga guru besar yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan pidato kehormatan yaitu Prof. Dr. Hj. Nuryani Rustaman, M.Pd, Prof. Dr. Wahyudin, M.Pd. serta Prof. Dr. Fransisca Sudargo, M.Pd.

Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UPI, Prof. Dr. Karim Suryadi mengatakan, pidato kehormatan yang sudah menjadi tradisi akademik sejak tahun 2019, digelar jelang Dies Natalis.

Pidato kehormatan ini juga sebagai bentuk rasa syukur, ungkapan kebahagiaan.

“Jangan sampai ketika menjadi guru besar dan dikukuhkan dengan pidato yang luar biasa, lalu ketika mereka pensiun dilepas begitu saja,” imbuhnya.

Saat ini UPI memiliki 125 guru besar aktif dan 15 guru besar emeritus serta 2 guru besar yang belum dikukuhkan.

“Tahun ini ada 5 orang guru besar yang memasuki masa purnabhakti, satu guru besar diantaranya telah meninggal dunia dan satu guru besar lagi memasuki purnabhakti ahir tahun 2021, sehingga pidato kehormatannya dilaksanakan pada dies natalis tahun 2022 mendatang, ” ujarnya.

Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan
Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan

Pada kesempatan pertama, pidato kehormatan disampaikan oleh Prof. Dr. Hj. Nuryani Rustaman, M.Pd yang merupakan Guru Besar Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UPI, dengan judul “Hikmah Di Balik Proses Belajar Sepanjang Hayat Dalam Pandangan Biologi Berbasis Kecerdasan Majemuk”

Prof. Dr. Hj. Nuryani Rustaman, M.Pd menjelaskan khusus untuk IPA termasuk Biologi, penyiapan gurunya tidak dapat hanya melalui eksplanasi ilmiah, yang fungsi eksplanan diperankan oleh scientific processes dan fungsi eksplanandum diperankan oleh fenomena dan peristiwa alam, juga perlu dilatihkan secara terencana dan diperlukan eksplanasi pedagogi.

Baca Juga  Disdik Jabar Mulai Siapkan PTM Terbatas Juli Mendatang

Dalam Eksplanasi pedagogi, fungsi eksplanan diperankan oleh keterampilan intelektual dan fungsi eksplanandumnya oleh materi subyek.

“Hubungan proses dan hasil dapat ditekankan pada penggunaan keterampilan intelektual, melalui ketiga cara di atas dan pebelajar mengonstruksi konsep menurut dominansi tipe kecerdasan majemuknya serta gaya belajarnya, ” ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan program pendidikan IPA/biologi bukan hanya penambahan aspek pendidikan pada Biologi. Pendidikan Biologi memiliki karakteristik tersendiri sebagai suatu bidang Ilmu.

“PMS perlu dipelajari guru/calon guru untuk memperkuat pengembangan’ Knowledge Base Teaching’ pada area ‘Content Knowledge’ atau ‘Subject Matter Knowledge,” kata Nuryani.

Sementara itu Prof. Dr. Wahyudin, M.Pd. Guru Besar Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dalam pidatonya dengan mengangkat tema “Menghayati Semangat Pendidikan Matematika Dan Dunia Pendidikan Di Indonesia Terkini”.

Prof. Dr. Wahyudin mengatakan hakikat matematika tidak cukup dengan mengikuti suatu definisi, melainkan perlu juga memahami sifat-sifat dari matematika dan peran matematika dalam perkembangan IPTEK.

Karena itu seorang pendidik matematika perlu memiliki penguasaan matematika yang memadai, terbuka untuk terus belajar, berdiskusi, serta mengasah dan memperluas kemampuannya.

Pandangan itu pun menyiratkan lapangan penelitian pendidikan matematika yang terbuka lebar, baik dalam hal matematika apa yang relevan untuk dipelajari maupun bagaimana mengajarkan atau mempelajarinya.

Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan
Dies Natalis ke 67 UPI, Tiga Guru Besar Sampaikan Pidato Kehormatan

“Pada bagian dimana saya menyampaikan pandangan bahwa “penerapan akal sehat ke dalam pembelajaran bukan hal yang salah, tetapi akal sehat bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh begitu saja,” tutur Wahyudin.

“Saya menggaris bawahi pentingnya saling berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang praktik mengajar yang baik. Pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan capaian, tingkat kemampuan, serta kebutuhan peserta didik, ” kata Wahyudin.

Pada kesempatan yang sama Prof. Dr. Fransisca Sudargo, M.Pd. Guru Besar Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dalam pidatonya mengangkat judul ”Pembelajaran Berbasis Praktikum Dalam Pendidikan Guru Biologi: Untuk Membangun Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Melalui Pembelajaran Berbasis Praktikum”.

Baca Juga  UPI Peringkat ke-4 Peserta Terbanyak Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB)

Prof. Dr. Fransisca Sudargo menjelaskan pada abad ke 21 ini, perkembangan ilmu sangat pesat, termasuk perkembangan ilmu Biologi sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berbasis eksperimen (praktikum).

Oleh karena itu berpikir kritis dan kreatif merupakan asset penting dalam mengembangkan karakter anak didik, karena hasil pembelajaran di sekolah harus memampukan para siswa untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan yang sangat cepat, baik di sekolah maupun di masyarakat

Menurutnya, konstruksi pengetahuan pada umumnya diperoleh melalui pengalaman belajar aktif atau dikenal sebagai experiential learning.

Pembelajaran berbasis kegiatan praktikum merupakan salah satu cara dalam menyampaikan kurikulum secara konstruktivistik, karena memampukan siswa untuk merefleksikan hasilnya.

Ia menambahkan pesatnya perkembangan TIK saat ini dapat dimanfaatkan oleh siswa dalam pembelajaran berbasis praktikum, sebagai sumber informasi untuk mengetahui temuan mutakhir ataupun perkembangan pengetahuan dan aplikasinya yang dapat dijadikan dasar untuk masalah yang sedang diselidikinya.

“Pembelajaran bersifat fleksibel namun terarah, karena tugas-tugas siswa yang jelas dalam lembar kerja siswa, ” ujarnya.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa di jenjang SD, SMP dan SMA, pembelajaran yang inovatif ini menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam penguasaan konsep, kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kreatif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang memisahkan teori dengan praktikum pada kelas pembanding. Sementara di perguruan tinggi yang menggunakan kelas tunggal juga diperoleh peningkatan kemampuan berpikir kritis, sikap ilmiah, dan penguasaan konsep yang signifikan, ” pungkasnya. (Ida)